Selasa, 29 November 2011

Pembentukan Nilai dan Sikap Positif kepada Bangsa dan Negara serta kemauan untuk membelanya

Pembangunan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Serentak dengan laju pembangunan, terjadi pula dinamika masyarakat. Terjadi perubahan sikap terhadap nilai-nilai yang sudah ada. Sehingga terjadi pula pergeseran sistem nilai yang membawa perubahan dalam hubungan interaksi manusia dengan masyarakatnya, baik yang menyangkut bidang material (lahiriah) maupun yang bertalian dengan bidang mental (batin).
Indonesia sebagai negara yang sedang membangun, tidak luput dari perubahan-perubahan tersebut. Misalnya, persoalan budaya dan karakter bangsa menjadi sorotan tajam masyarakat atau menjadi isu sentral dewasa ini, yang menyedot perhatian, pemikiran dan keperihatinan banyak orang di negeri ini. Pada dasarnya, yang dipersoalkan adalah menyangkut semakin memudarnya nilai-nilai budaya dan karakter dalam kehidupan bermasyarakat (lihat Kemendiknas, 2010 : 1, Kemendiknas, 2010 : 2). Persoalan-persoalan yang belum dapat terselesaikan itu, bahkan ada kecenderungan semakin melebar, menyebabkan pemerintah mencoba menggagas solusinya serta membangun kembali jati diri dan karakter bangsa yang sesungguhnya. Gagasan itu mulai dikembangkan pada tahun 2010. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, menjadi tema besar dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2011 ini.
Salah satu alternatif yang disodorkan adalah dengan mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa di satuan pendidikan. Sekolah memasukannya sebagai bagian integral dari kurikulum, dan mengintegrasikannya ke dalam semua mata pelajaran serta dilaksanakan melalui proses pembelajaran secara aktif. Bukan sebagai pokok bahasan baru, nilai-nilai yang dikembangkan terintegrasi ke dalam silabus dan rencana program pembelajaran (RPP) yang sudah ada (lihat Kemendiknas, 2010 : 11 - 22).
Berangkat dari ketentuan di atas, menarik untuk dikaji tentang implikasi pendidikan budaya dan karakter bangsa itu dalam pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dimana IPS sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah, memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam mengembangkannya. Mengingat pula bahwa “mata pelajaran IPS bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat” (Depdiknas, 2006 : 1).
Pendidikan yang berlangsung di sekolah adalah suatu proses yang bertujuan. “Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah pemanusiaan manusia muda” (Driyarkara, 1986 : 3). Tujuan ini tidaklah semata-mata mengarahkan pendidikan untuk mencetak wujud manusia yang hanya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) atau memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi semata. Tetapi harus diimbangi oleh penguasaan dan kemampuan mengamalkan nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bupati Lombok Barat, Dr. Zaini Arrony bahwa “percuma intelligence guotient cerdas, namun tidak diiringi emotional quotient dan spiritual quotient, maka bisa jadi anak tersebut akan mengggunakan kecerdasan otaknya untuk hal yang negatif” (Radar Lombok, 2 Mei 2011 : 6).
Penguasaan iptik adalah prasyarat bagi kemajuan bangsa, dan sekaligus sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Bahkan hal ini dianggap sebagai “wujud dari nasionalisme baru yakni suatu nasionalisme yang tidak lagi menekankan pada usaha merebut atau mempertahankan kemerdekaan, melainkan bagaimana menyejajarkan diri dengan kemajuan bangsa-bangsa lain lewat penguasaan iptek”(Harry Tjan Silalahi, dikutip oleh Atmadja, 1992 : 16).
Disamping itu, kemajuan iptek juga menimbulkan transformasi sosial yang cepat dan mendasar. Transpormasi sosial itu adalah “perubahan yang cepat menuju masyarakat baru yang bersifat global, yang kekuatannya terutama terletak pada teknologi serba canggih dan ekonomi” (Widja, 1992 : 3). Atau, “kehidupan manusia akan beranjak kearah ciri utama, yakni reifikasi, manipulasi, fragmentasi dan individualisasi” (Poespowardoyo, 1986 : 122-116). Sehingga “terefleksi sosok manusia masa depan yang semakin menjadi meterialistis, legalistis dan formalitis. Semua kenyataan diusahakan dalam bentuk angka-angka serta bentuk-bentuk lahiriah” (Widja, 1991 : 3). Kehidupan manusia dalam “situasi semacam ini akan makin menonjolkan peran individu dalam masyarakat dan merenggangkan ikatan sosial yang ada sebelumnya. Sisi ekstrim situasi ini adalah egoisme yang makin mendapat peluang untuk berkembang apabila tidak cukup tersedia bendung-bendung budaya sebagai tandingannya” (Widja, 1991 : 3).
Oleh karena itu, pembangunan dan pendidikan yang hanya bertumpu pada penguasaan iptek, tanpa diimbangi dengan nilai akan melahirkan generasi-generasi muda yang kering dengan nilai budaya dan terasing dari budayanya sendiri, serta kehilangan karakter bangsanya. “Pendekatan dan strategi pembangunan hendaknya menempatkan manusia sebagai pusat interaksi kegiatan pembangunan spiritual maupun material. Pembangunan yang melihat manusia sebagai makhluk budaya, dan sebagai sumber daya dalam pembangunan. Hal itu berarti bahwa pembangunan seharusnya mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa. Menumbuhkan sikap hidup yang seimbang dan berkepribadian utuh. Memiliki moralitas serta integritas sosial yang tinggi” (Mustopo, 1983 : 14).
Untuk menuju ke arah itu, IPS sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah memiliki kedudukan dan peranan yang strategis dalam pendidikan nilai bagi peserta didik. Mengingat bahwa “dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa, kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui sejarah yang memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa diri bangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu, pendidikan harus membangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan tempat diri dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi)” (Kemendiknas, 2010 : 6).
Dengan demikian, program pembelajaran IPS di sekolah harus dilaksanakan sebagai satu kesatuan dari berbagai bahan kajian dalam mata pelajaran IPS (sejarah, geografi, ekonomi, antropologi dan sosiologi). Tidak seharusnya diajarkan (dibelajarkan) secara terpisah-pisah atau menyendiri, tanpa ada ikatan (kaitan) antara satu dengan yang lain. Proses pembelajaran IPS harus menerapkan pendekatan terpadu (Depdiknas, 2006 : 1) atau pendekatan multidimensional (Atmadja, 1992 : 13), disebut pula dengan pendekatan interdisipliner (Dipdiknas, 2006 : 6). Dimana “model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif. Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu” (Depdiknas, 2006 : 1).
Keterpaduan dalam pembelajaran IPS, berarti pula dapat mengantarkan peserta didik ke arah kemajuan bermasyarakat yang bermartabat. Artinya, dalam ternspormasi sosial ke arah kemajuan akibat pembangunan serta kemajuan iptek, pendidikan IPS secara terpadu dapat memberikan arah yang tepat bagi kemajuan tersebut, sehingga kemungkinan timbulnya perubahan salah arah tertanggulangi. Dengan kata lain, pendekatan pembelajaran IPS terpadu tidaklah semata-mata menekankan pada tambahan ilmu pengetahuan, tetapi yang lebih penting adalah “menunjang homonisasi dan humanisme, yakni membentuk manusia yang tahu dan mau bertindak sebagai manusia dan tindakannya itu benar-benar manusiawi dan semakin manusiawi” (Mardiatmadja, 1990 : 50).
Manusia yang manusiawi adalah menjunjung kemanusiaan yang integral. Hal ini dintandai oleh sikap dan perilaku mereka yang menyadari kodratnya sebagai mahkluk yang tidak sempurna, mampu menangani secara selektif setiap situasi yang mereka hadapi berdasarkan tujuan yang dipilih secara sadar, dan juga menyadari kemampuannya sebagai makhluk berakal. Namun di sisi lain mereka pun harus pula menyadari kemampuannya tentang hakekat manusia sebagai makhluk berperasaan. Jadi manusia dalah makhluk yang mempunyai rasio dan rasa. Selain itu, manusia harus pula kreatif dan mengekspresikan dirinya. Tetapi mereka pun harus memahami rasionalitas , kreativitas, dan pengekspresian diri itu dibatasi oleh alam, moralitas, masyarakat, tradisi, dan agama (lihat Murchland, 1992 : 93 – 102). Jadi, wujud manusia yang sesugguhnya adalah menghargai alam beserta isinya, memiliki kepekaan moral, menjungjung tinggi nilai-nilai agama, dan menghargai tradisi. Ini tidaklah berarti manusia menolak atau apriori terahadap perubahan, melainkan yang penting mereka sadar bahwa “intelek yang benar-benar besar adalah yang memandang lama dan baru, masa lalu dan sekarang, jauh dan dekat secara tak perpisah, dan yang memiliki wawasan atas pengaruh dari semua hal itu atas satu sama lainnya yang tanpa pengaruh ini tidak akan ada keseluruhan, tidak akan ada pusat. Intelek yang benar-benar besar itu memiliki pengetahuan, bukan hanya mengenai benda-benda, tetapi juga hubungan benda-benda itu satu sama lainnya” (Murchland, 1992 : 98).
Pembentukan manusia yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang intergral menuntut adanya kemauan yang kuat, inovasi, dan kreativitas yang tinggi dari guru IPS untuk menciptakan proses pembelajaran yang aktif dalam mengkaji secara kritis dan kreatif akan nilai-nilai yang terkandung dalam materi pembelajaran. Dengan demikian, dalam pengintegrasian nilai-nilai budaya dan karakter, guru IPS memiliki posisi yang sangat penting dan sebagai salah satu soko guru humaniora, menjadi toladan yang dapat digugu dan ditiru dalam masalah kemanusiaan. Untuk itu, guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi” (Atmadja, 1992 : 21). Dalam kaitannya dengan ini, maka guru IPS harus terus menyegarkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan yang dimilkinya.
Dengan demikian, pencapaian pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam mata pelajaran IPS sangat tergantung pada guru dalam merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu diaorganisasikan dengan baik, dan didukung oleh pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang ilmu-ilmu sosal dan nilai-nilai kemaunisan.

Sabtu, 29 Oktober 2011

Untuk memenuhi tugas dari ibu Dra. Kurnia triyuli, M.Pd

IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan “Social Studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut meliputi : Ilmu Sosial (SocialSciences), Studi Sosial ( Social Studies ), Ilmu Pengetahuan Soaial ( IPS )

Definisi Ilmu Sosial, Studi Sosial, Ilmu Pengetahuan Sosial

     1. Ilmu Sosial (Sicial Science) 
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”. Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk. Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat. 

2.      Studi Sosial (Social Studies).
Perbedaan dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar.
3.      Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) 
        Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah “Social Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
 
 

Senin, 24 Oktober 2011

Pendapat 5 ahli asing tentang IPS SD


Berikut ini , saya mencoba mencari dan mengkaji pendapat ahli asing tentang ips sd yang saya dapatkan dari sumber internet:

1.  Menurut AK .Ellis (1991) 
       alasan diajarkannya ips sebagai pelajaran disekolah adalah :
  • IPS memberika tempat bagi siswa untuk belajar dan mempraktekkan demokrasi, hal ini dapat dilihat dari proses demokrasi yang terjadi dikelas, misalnya pada saat pemilihan ketua kelas maupun belajar menghargai pendapat dengan cara membuat forum diskusi.
  • IPS dirancang untuk membantu siswa menjelaskan “dunianya”
  • IPS adalah sarana untuk pengembangan diri siswa secara 
  • IPS membantu siswa memperleh pemahaman mendasar (fundamental understanding ) tentang sejarah , geografi dan ilmu -ilimu sosial lainnya,memang sudah diketahui dalam ips memang ada 3 hal penting yaitu dimansi waktu , ruang atau tempat dan dimensi udara, dimensi waktu berhubungan dengan masa kini, masa lampu dan masa datang dan kita tidak bisa menghindari itu karena waktu adalh dimensi yang sangat penting bagi kehidupan kita,dimensi ruang atau tempat berkaitan dengan tempat  sekolah , perumahan ,perkebunan dll,kita memperluakan ruang untuk membangun rumah, berolahraga ,berkebun dll disamping itu kita membutuhkan udara segar untuk bernafas,semua itu dirangkum jadi satu dalam ilmu pengetgahuan sosial (IPS)
  • IPS meningkatkan kepekaan-kepekaan siswa terhadap masalah-masalah sosial,ilmu pengetahuan sosial mengajari kita bagaimana hidup bersama.para siswa berhubungan dengan orang lainnya,dalam hal ini IPS mengajarkan anak untuk menghargai orang laian dan berinteraksi  dengan lingkungan lainnya sehingga dia akan peka terhadap apa saja yang terjadi disekitarnya.
2. Menurut Barr dkk
     Merumuskan tiga perspektif tradisi utama dalam IPS,tradisi tersebut adalah :
  • IPS diajarkan sebagai nilai pewarisan kewarganegaraan (citizenship transmission)
  • IPS diajarkan sebagai ilmu-ilmu sosial
  • IPS diajarkan sebagai reflektif inquir
3. Roberta Woolover dan Kathryn P. Scoot (1987)
      merumuskan ada lima perspektif dalam mengajarkan IPS . Kelima perspektif tersebut tidak
      berdiri masing-masing, bisa saja ada yang merupakan gabungan dari perspektif yang lain.
      Kelima perspektif tersebut ialah:
  •  IPS diajarkan sebagai pewarisan nilai kewarganegaraan (citizenship transmission).
  • IPS diajarkan sebagai Pendidikan ilmu-ilmu sosial
  • IPS diajarkan sebagai cara berpikir reflektif (reflective inquiry).
  • IPS diajarkan sebagai pengembangan pribadi siswa.
  • IPS diajarkan sebagai proses pengambilan keputusan dan tindakan yang rasional.
4. Diana Nomida Musnir dan Maas DP (1998) 

     mendeskripsikan hakikat Pendidikan IPS adalah berbagai konsep dan prinsip yang terdapat dalam
     ilmu-ilmu sosial, misalnya tentang kependudukan, kriminalitas, tentang korupsi dan kolusi dan
     sebagainya yang dikemas untuk kepentingan pendidikan dalam rangka upaya pencapaian tujuan
     pendidikan diberbagai jenjang pendidikan. Berbagai realitas tersebut dijelaskan melalui
     pendekatan multi dimensi arah dalam melakukan berbagai prinsip dan generalisasi yang
     terdapat dalam ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi sosial,
    geografi dan ilmu politik

5. John Jarolimek, (1971:4)

     mengatakan “the social studies have been defined as those portion of
     the social sciences selected for instructional purpose”. Kemudian disebut pula bahwa ilmu ilmu
     sosial yang mendukung social studies, adalah history, sosiology, political science, Social
     psychologi, philosophy, antroplogy and economic yang dapat diterjemahkan bahwa
     IPS  adalah ilmu pengetahuan tentang manusia dalam lingkungan hidupnya, yaitu mempelajari
     kegiatan hidup manusia dalam kelompok yang disebut masyarakat dengan menggunakan
     berbagai disiplin ilmu sosial (social sciences), sepertinya: sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah,
     antropologi, psikologi sosial, dan sebagainya, juga dengan humaniora dan ilmu kealaman.